Senin, 07 Maret 2011

ZAKAT PRODUKTIF SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI 01


 Ahmad Saifuddin, Lc
 
A.     Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu problematika ekonomi, yang oleh karenanya para ekonom berupaya untuk menanganinya. Juga merupakan problematika sosial, karena dialami anggota masyarakat, menghambat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dan yang menguras pemikiran para sosiolog untuk bagaimana mengatasinya. Dalam politik, kemiskinan juga menjadi salah satu dari tiga musuh utama yang diperangi disamping kebodohan dan wabah penyakit. Ia menjadi problematika kemanusiaan, karena ia dialami langsung oleh manusia, mahluk yang sangat dimuliakan Allah di muka bumi, yang telah ditundukkan kepadanya segala apa yang ada dilangit dan di bumi ini.
Dengan demikian maka islam memandang bahwa kemiskinan sangat membahayakan bagi akidah, akhlak, pemikiran, keluarga dan masyarakat. Kemiskinan adalah bencana yang harus dijauhi. Sehingga nabi berdoa,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ –صَلعم- كَانَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa nabi saw pernah berdoa, “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari kefakiran, kekurangan dan kerendahan, dan aku berlindung kepadamu dari dianiaya dan menganiaya. (HR Abu Dawud, Nasa’I dan Ibnu Majjah)
            Sebagai mahluk mulia, islam menginginkan manusia bisa hidup dengan layak, berkecukupan, bahagia, aman, dan tentram, agar manusia bisa fokus dalam beribadah kepada Allah, tidak senantiasa sibuk memperjuangkan sesuap nasi sehingga melupakan kewajibannya untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

B.     Konsep Muzakki dan Mustahiq dalam Islam
Konsep islam tentang hak Muzakki dan mustahiq sangat jelas. Sebagai mahluk mulia, keduanya memiliki kemuliaan yang sama-sama dijunjung tinggi oleh islam. Muzakki memiliki kemuliaan dengan kewajibannya untuk menyisihkan bagian dari hartanya untuk mustahiq. Sementara mustahiq memiliki kemuliaan untuk tidak merendahkan dirinya dengan menengadahkan tangannya kepada muzakki. Oleh sebab itulah Al-Quran membahasakan zakat dengan kata “atuuz zakat” yang artinya “mendatangkan zakat”. Dengan pengertian bahwa muzakki yang berkewajiban menyampaikan zakat kepada mustahiq, baik secara pribadi atau mewakilkannya melalui lembaga zakat, bukan mustahiq meminta zakat kepada muzakki.
Hal tersebut secara tekstual dapat disimak pada firman Allah yang artinya, “Dan dirikanlah shalat,dan  tunaikanlah zakat….. (QS. 2:43, 83). Juga firman Allah yang artinya, “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. 98:5).
Rasulullah saw bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima landasan, bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dab bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya, menegakkan shalat dan menunaikan zakat, haji ke baitullah dan puasa ramadhan. (HR. Muslim)
            Tentang kehinaan orang yang suka meminta, rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba itu membuka pintu untuk meminta kepada orang lain kecuali Allah telah membuka pintu kefakiran baginya”.
Sehingga beliau menganjurkan kepada sahabatnya untuk bekerja daripada meminta. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang diantara kamu membawa seikat kayu dipunggungnya, hal itu lebih baik daripada ia meminta pada seseorang, lalu adakalanya diberi atau tidak. (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta'ala berfirman, yang artinya, "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka itu orang kaya karena mereka memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang-orang secara mendesak." (Al-Baqarah : 273)
Ayat-ayat dan hadits-hadits di atas secara lugas menjelaskan kemuliaan manusia untuk memberi dan juga kemuliaan untuk tidak meminta. Dan islam menganjurkan umatnya untuk bekerja, apapun pekerjaannya asal halal, meskipun pekerjaan itu sepele dimata orang lain.
Jika ini konsep islam tentang muzakki dan mustahiq, serta anjuran untuk bekerja daripada meminta, maka langkah menjadikan mustahiq untuk menjadi muzakki adalah langkah yang sangat mulia dalam syariat Islam.

C.     Distribusi Zakat
Secara garis besar model pendistribusian dana zakat mempunyai dua sifat, yaitu konsumtif dan produktif. Distribusi zakat komsumtif adalah pendistribusian zakat kepada mustahiq yang tidak produktif untuk dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mereka itu adalah fakir-miskin dari kalangan orang-orang uzur, jompo, orang gila, dan orang yang tidak ada kemungkinan untuk bekerja lagi. Dengan zakat ini mereka diharapkan untuk dapat membatasi diri dan merasa malu untuk meminta-minta. Zakat konsumtif ini dapat berupa bahan makanan pokok, sandang, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan distribusi produktif adalah mendistribusikan dana zakat kepada mustahiq yang produktif sebagai modal usaha bagi mustahiq yang produktif. Kelompok kedua ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari dana zakat. Kelompok ini adalah fakir-miskin dari kalangan anak jalanan, ibn sabil, mu’allaf, gharim, dan sabilillah[1]. Zakat produktif inilah yang diharapkan mendorong keluarga miskin untuk berusaha mandiri agar dapat keluar dari garis kemiskinan.
Selama ini umumnya zakat didistribusikan secara konsumtif. Yaitu memberikan zakat kepada mustahiq, untuk dikonsumsi. Pada prakteknya pendistribusian semacan ini tidak banyak membawa perubahan bagi mustahiq. Mustahiq hanya menikmati harta zakat sesaat, untuk berikutnya mereka kembali pada keadaan semula tetap miskin dan menderita. Karena itulah diupayakan pendistribusian zakat secara produktif, yaitu dengan memberikan zakat kepada mereka dalam bentuk modal usaha.

D.     Asas Pendistribusian Zakat Produktif.
Terkait dengan distribusi zakat kepada mustahiq para ulama berbeda pendapat, antara kelompok yang membatasi dan yang melapangkan besarannya.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa zakat itu diberikan kepada mustahiq sekedar untuk mencukupi kebutuhannya dalam jangka waktu sehari semalam. Pendapat ini kemudian menjadi landasan pendistribusian zakat secara konsumtif. Atau penggunaan zakat untuk dikonsumsi. Pendapat ini menurut imam Ghazali dianggap lemah.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa kadar zakat yang diberikan kepada mustahiq adalah sampai batas mustahiq menjadi kaya. Pendapat ini yang mengilhami distribusi zakat secara produktif. Mereka mengatakan bahwa mustahiq boleh menerima zakat sebesar kecukupannya untuk membeli sawah-ladang, yang hasilnya bisa digunakan mencukupi kebutuhannya seumur hidupnya. Atau kadarnya cukup untuk membeli barang-barang perniagaan, sehingga ia menjadi kaya dan bisa mencukupi kebutuhannya sepanjang hidupnya. Pendapat ini dipelopori oleh khalifah Umar bin Khathab ra, Imam Syafi’I dalam kitabnya Al-Um dan mayoritas pengikutnya.
Berdasarkan riwayat, Umar ra, pernah berkata kepada para gubernur dan pegawai zakatnya, “Apabila kalian memberikan (zakat), maka berikanlah (zakat) yang membuat orang kaya[2].”.Dalam riwayat lain, seseorang datang kepada Umar mengadukan tentang keadaannya yang buruk, lalu Umar pun memberinya tiga ekor unta kepadanya untuk merubah keadaannya sampai menjadi baik. Bahkan ia juga berpesan kepada para pegawainya yang bertugas membagikan zakat kepada mustahiq, “Susulkanlah zakat itu kepada mereka, meskipun di antara mereka ada yang membutuhkan seratus ekor unta.”  Padahal seratus unta pada waktu itu sama dengan dua puluh nishab zakat.
Pada kesempatan lain, Umar juga memberikan seekor unta beserta anaknya kepada seorang Arab pedalaman. Dan juga pernah didatangi seorang wanita miskin yang menanggung banyak anak. Kemudian Umar memerintahkan Muhammad bin Maslamah (amil zakat) untuk memberikan seekor unta beserta tepung dan minyak kepada wanita itu. Setelah itu, Umar menambahkan lagi dengan dua ekor unta[3].
Dalam kitab Al-Majmu’ Imam Nawawi mengatakan, “Para sahabat kami di Iraq dan di Khurasan mengatakan, “Fakir-miskin diberi zakat sebesar kebutuhan mereka untuk mencukupi kebutuhan sampai menjadi kaya, yaitu zakat yang mampu membuat mereka mencukupi kebutuhannya selamanya. Ini adalah pendapat Syafii rahimahullah. Para sahabat kami mengambil dalil hadits Qabishah bin Al-Makhariq[4].
Pendapat kedua ini juga diperkuat dengan sebuah Hadits yang diriwayatkan Ali ra[5],
عن علي كرم الله وجهه، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن الله فرض على أغنياء المسلمين في أموالهم بقدر الذي يسع فقراءهم، ولن يجهد الفقراء إذا جاعوا أو عروا إلا بما يصنع أغنياؤهم، ألا وإن الله يحاسبهم حسابا شديدا، ويعذبهم عذابا أليما)
Artinya, “Dari Ali karamallahu wajhah, Bahwa nabi saw, bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada para muslim yang kaya, didalam harta mereka, suatu kadar yang dapat memberikan kelapangan kepada para fakir diantara mereka, dan orang-orang fakir tidak akan pernah bisa berusaha/bekerja apabila mereka kelaparan atau telanjang, (dan hal itu tidak terjadi) kecuali karena sikap orang-orang kaya mereka (yang tidak mau mengeluarkan zakat). Ketahuilah, bahwa Allah akan memperhitungkan harta mereka itu dengan ketat (di akhirat) dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.(HR. Thabrani)
Dari kalangan tabiin, Atha’ ra, juga mengatakan, “Ketika seseorang memberikan zakat kepada salah satu keluarga muslim, lalu orang tersebut menambah zakatnya, maka hal itu lebih membuatku senang.”[6]
Riwayat-riwayat di atas sangat jelas bahwa zakat diberikan kepada mustahiq tidak hanya untuk tujuan menghilangkan lapar dan dahaga yang bersifat sementara, namun bertujuan menghilangkan penderitaan berkepanjangan dari para mustahiq. Untuk itu jika suatu lembaga zakat memiliki dana zakat yang melimpah, maka bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pabrik, membeli lahan pertanian, lembaga perdagangan dan lainnya, untuk keperluan proyek industry dan pada ahirnya pengelolaannya diserahkan kepada mustahiq, serta didampingi dan dibina oleh lembaga zakat tersebut.


[1] . M. Nur A Birton, Zakat Yang  Memberdayakan, Iqtishad, Jurnal Sosial Ekonomi Fakultas Ekonomi, UMJ 2001.
[2] . Faidhul Qadir, juz 3, hal 663
[3] . Dauruz Zakat Fii Ilajil Musykilat Al-Iqtishadiyah, Dr. Yusuf Qaradhawi, Darus Syuruq Kairo, hal. 30
[4] . Al-Majmu, juz 6, hal. 190.
[5] . Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Cet.Al-Maktabah Al-Ashriyah Beirut, tahun 1999, juz 1, hal.247.
[6] . Al-Amwal, hal. 565-566
[7] . Dauruz Zakat Fii Ilaajil Musykilat Al-Iqtishadiyah, Dr Yusuf Al-Qaradhawi, hal.30
[8] . http://www.elzawa-uinmaliki.org/zakat-antara-altruisme-dan-egoisme-muzakki/
[9] . http://mihrabia.blogspot.com/2010/11/zakat-produktif.html
[10] . Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 38 Tahun 1999, Tentang Pengelolaan Zakat
[11] . http://rudipower.blogspot.com/2010/04/optimalisasi-peranan-zakat-dalam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar